Gapura Bajangratu terletak di Dukuh Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kab. Mojokerto, Jawa Timur.
Deskripsi Bangunan
Dilihat dari bentuknya gapura ini merupakan pintu gerbang tipe "pradakursa" yaitu gapura yang memiliki atap. Bahan utamanya adalah bata, kecuali lantai tangga serta ambang pintu yang dibuat dari batu andesit. Denah bangunan berbentuk segiempat berukuran 11,5 x 10,5 meter, tingginya 17, 5 meter dan lebar lorong pintumasuk 1,4o meter. Secara vertikal, Gapura Bajangratu dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, tubuh dan atap. Selain itu gapura mempunyai sayap dan pagar tembok dikedua sisinya. Pada kaki gapura terdapat hiasan panil yang menggambarkan cerita "Sri Tanjung".
Keseluruhan bangunan terdiri dari bagian induk dengan struktur kaki, tubuh dan atas, bagian sayap serta tembok keliling. Bangunan peninggalan Majapahit ini berbentuk paduraksa (bangunan berupa pintu gerbang dengan atap yang menyatu) yang kiri-kanannya bersayap dan bagian-bagiannya dihiasi relief-relief yang jarang ditemukan pada sebuah gapura.
Pada sudut-sudut kaki gapura masing-masing terdapat panel-panel yang pada bagian depannya dihiasi dengan relief (keadaannya sudah aus). Hiasan pada panel pertama (secara samar-samar) berupa dua orang berdiri dikelilingi oleh sulur-sulur mungkin seorang pari dan wanita. Panel kedua terdapat seekor ikan paus yang menyemburkan air, di atasnya ada hiasan menyerupai bonggol rumput di tengah riak air atau kalajengking yang berkaki enam dengan sengatnya.
Pada panel kiri digambarkan seorang wanita mengendarai ikan paus yang dipahatkan serupa dengan relief sebelumnya. Relief pada panel terakhir menggambarkan ceritera Sri Tanjung (seorang wanit mengendarai ikan). Menurut Sri Suyatmi Satari urutan relief di kaki gapura ini adalah:
1.Sidapaksa dan isterinya, Sri Tanjung.
2.Mungkin suma Sri Tanjung mengendarai ikan paus menyeberangi sungai menuju alam baka.
3.Sri Tanjung mengendarai ikan.
4.Sri Tanjung setelah sampai ke alam baka, berdiri dengan menoleh ke belakang.
Bagian atap terletak di atas tubuh candi setinggi 8,38 meter. Bagian ini banyak dihiasi dengan pahatan-pahatan kecil sehingga nampak indah dan unik, setiap dua lapis atap diselingi oleh deretan menara yang pejal dan bersambung dengan tingkat atap berikutnya. Hiasan menara ini berjumlah tiga tingkat. Dua lapisan atap yang terbawah tidak berhias atau mungkin telah rusak. Dua lapis ke dua masing-masing berhiaskan:
- Kepala kala di tengah dengan sepasang taring yang panjang yang mirip dengan sepasang duri seperti pipi kala Candi Jago.
Sisi kiri maupun sisi kanan kepala kala diapit oleh dua ekor binatang yang berdiri berhadapan, tetapi mempunyai sebuah kepala saja berupa kala. Relief serupa ini kita dapatkan pula pada Candi Jago. Sistem pahatan simetris berupa binatang atau makhluk lainnya yang digambarkan berhadapan ke arah pusat yang berupa kala dapat kita lihat pada gunungan wayang.
- Relief matahari memancarkan sinar.
Matahari ini merupakan perubahan bentuk dari kepala kala. Karena ada gigi dan taring panjang di bawah relief matahari. Dua ekor naga yang berkaki dan bercakar berdiri berhadapan menghadap ke arah matahari.
Naga itu bertelinga panjang dan bertanduk. Moncongnya menganga dan bergeligi tajam. Di dekat telinga terdapat sungut; tampak jelas garis yang membatasi punggung dan perutnya. Punggung bagian belakangnya menyerupai punggung buaya, sedangkan ekornya berujungkan sulur-suluran.
Pada lapis atau ketiga berhiaskan relief kepala atau mungkin kepala garuda yang dipahat miring. Relief ini terdapat di bagian tengah maupun sudut-sudut atas. Kepala-kepala kala yang di tengah diapit oleh sepasang binatang seperti motif yang terdapat pada Candi Panataran.
Dua lapis atas ke empat berhiaskan monocle cyclops atau Si Mata Satu bentuknya menyerupai siput yang bulat sebagai pengganti dari kepala kala, baik di tengah maupun di sudut atap.
Hiasan pada tingkat atap di bawah puncak atap berupa hiasan geometris dan kelopak bunga, sedangkan puncak atap sendiri diberi hiasan seperti bonggol.
Pada sayap gapura terdapat ceritera Ramayana, yaitu menggambarkan dua orang yang sedang berkelahi. Salah seorang di antaranya menderita kekalahan karena badannya diinjak oleh musuhnya yang berbentuk seekor kera. Pihak yang kalah berbadan besar dan berkepala raksasa.
Penampilan-penampilan gapura dihias dengan pelipit bawah, pelipit tengah dan pelipit atas masing-masing diukir dengan rangkaian bunga atau hiasan belah ketupat panjang, ada beberapa pelipit yang belum sempat diukir.
Bingkai di kiri-kanan pintu masuk berdiri pahatan berupa binatang bertelinga panjang dengan ekor berbentuk sulur gulung naik ke atas. Sulur gulung ini pun tidak selesai di pahat.
Sebagian besar bingkai masih polos atau diberi goresan rancangan. Di atas lantai dipahatkan sepasang umpak dengan dua buah lubang bekas engsel pintu yang daun pintunya membuka ke dalam.
Bajangratu dalam Sejarah
Gapura Bajangratu masih banyak menyimpan hal-hal yang belum diketahui secara pasti baik mengenai masa berdirinya, raja yang mendirikan, fungsi maupun segi-segi lainnya. Nama Bajangratu pertama kali terdapat dalam Oudheidkundig Versalag (OV) tahun 1915, yang menyebutkan bahwa bangunan tersebut telah diperbaiki dengan penguatan pada bagian sudut dengan cara mengisi spesi dari campuran PC dan pasir halus pada nat-nat yang renggang.
Gapura Bajangratu mungkin dikenal sebagai salah satu pintu gerbang Kraton Majapahit. Keletakannya di Dukung Kraton menunjukkan kaitannya dengan istana. Menurut legenda penduduk setempat, bangunan berupa kala Majapahit itu dibangun untuk mengenang seorang putera mahkota Majapahit semasa dalam kandungan tapi bayi mahkota kemudian mati saat dilahirkan.
Bangunan itu kemudian dinamakan Gapura Bajangratu, yang berarti gagal menjadi ratu. Penduduk setempat percaya bahwa siapa yang berani masuk melalui gapura itu tidak akan naik pangkat.
Sri Suyatmi Satari menyebutkan bahwa Gapura Bajangratu diperkirakan dibangun sekitar abad XIII dan abad XIV untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara. Jayanegara atau Kalagement adalah Raja Majapahit yang memerintah antara tahun 1309-1328 M. Ia adalah anak dari Kertarajasa dengan Dyar Sri Tribhuwaneswari. Di dalam prasasti Taharu yang berangka tahun Saka 1245 (1323 M), Jayanegara disebtukan dengan nama gelas Sri Sundara Pandyadewadhiswara. Pada waktu ayahnya masih memerintah yakni pada tahun 1218 S (1296 M), ia sudah dinobatkan sebagai raja muda (Kumararaja) dengan nama Abhiseka Sri Jayanegara. Hal ini mungkin ada hubungannya dengan nama Bajangratu, yaitu dinobatkan tatkana masih “bajang” sehingga jelas menjadi ratu waktu masih “bajang” atau Ratu Bajang atau Bajangratu melekat padanya.
Dalam Pararaton dijelaskan bahwa Jayanegara wafat pada tahun 1328 M. Teks itu berbunyi: “sira dhinarmeng Kapopongan, bhisekering sranggapura, pratistaning antarwulan.” Menurut Krom (1926), Sranggapura sama dengan Sri Ranggapura dalam Nagarakertagama, sedangan Antarwulan sama dengan Antarisasi. Atas dasar ini maka dapat dikatakan bahwa dharma (tempat suci) Raja Jayanegara berada di Kapopongan alias Sranggapura atau Sri Ranggapura. Pratistanya (bangunan suci) berada di Antarwulan atau Trowulan. Arcanya yang berbentuk Wisnu terdapat di Babat dan Shila Petak, sedang yang dalam bentuk amonghasidi terdapat di Sukalila.
Pemugaran
Gapura Bajangratu telah dipugar sejak 1985/1986 sampai dengan 1990/1991. Pemugarannya merupakan bagian dari kegiatan besar proyek pemugaran/pemeliharaan bekas ibukota Majapahit di Trowulan. Kini tinggal upaya kita untuk turut melestarikannya sebagai warisan budaya untuk memperkuat kepribadian bangsa dan sebagai obyek wisata.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1994. Khasanah Budaya Nusantara V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Candi Bajang Ratu
Label:
Laporan Kunjungan Ke Mojokerto
- Sabtu, 04 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar